UPdates—Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% di tahun 2025 membuat banyak pihak yang khawatir. Salah satunya adalah masyarakat yang selama ini bertransaksi menggunakan QRIS.
Sejauh ini, belum diketahui apakah transaksi dengan QRIS juga bakal dikenakan PPN 12 persen. Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI, Dicky Kartikoyono menolak menjelaskan hal itu.
Ia hanya menyebutkan, pihak BI akan berkoordinasi lebih lanjut dengan pemerintah terkait implementasi PPN 12 persen. "Kami nanti koordinasi dulu. Masih ada waktu bagaimana mekanisme, bagaimana kemudian pemahaman terhadap transaksi," katanya sebagaimana dilansir keidenesia.tv dari RRI.co.id, Minggu, 22 Desember 2024.
Ia menilai dampak kenaikan tarif PPN terhadap sistem pembayaran elektronik, termasuk QRIS, harus dilihat secara holistik. "Kita melihatnya harus secara holistik gitu ya," ujarnya.
Dicky mengatakan, kebijakan PPN 12 persen ini belum berjalan. Sehingga dia belum bisa menjelaskan seberapa besar dampaknya kepada transaksi uang elektronik.
"Rasanya bukan porsi saya menjawab, karena itu dampaknya makro. Apa semua? Kan harus dilihatnya holistik," ujarnya.
Pemerintah berencana menetapkan tarif PPN 12 persen mulai 1 Januari 2025, sesuai dengan amanat UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa pemerintah menerapkan kebijakan perpajakan, termasuk PPN 12 persen, yang selektif dan berbasis keadilan.
“Keadilan adalah dimana kelompok masyarakat yang mampu akan membayar pajaknya sesuai dengan kewajiban berdasarkan undang-undang, sementara kelompok masyarakat yang tidak mampu akan dilindungi bahkan diberikan bantuan. Di sinilah prinsip negara hadir,” kata Menkeu sebagaimana dilansir keidenesia.tv dari InfoPublik, Minggu, 22 Desember 2024.
Menkeu juga menegaskan bahwa kebijakan perpajakan ini tetap mengedepankan keberpihakan terhadap masyarakat. Barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat, seperti kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan angkutan umum tetap dibebaskan.
Sementara itu, barang seperti tepung terigu, gula industri, dan minyak curah (sekarang minyak Kita) yang mengalami kenaikan PPN, akan dibebaskan bebannya oleh Pemerintah melalui mekanisme DTP (Ditanggung Pemerintah).
Selain itu, penyesuaian tarif PPN akan dikenakan pada barang dan jasa yang tergolong mewah, seperti makanan premium, layanan rumah sakit kelas VIP, dan pendidikan internasional berbiaya mahal.
Pemerintah juga memberikan stimulus perlindungan sosial untuk kelompok masyarakat menengah ke bawah, seperti bantuan pangan, diskon listrik, dan berbagai insentif perpajakan. Insentif ini termasuk perpanjangan masa berlaku PPh Final 0,5 persen untuk UMKM, insentif PPh 21 DTP untuk industri padat karya, serta alokasi total insentif PPN sebesar Rp265,6 triliun untuk 2025.
“Mayoritas insentif perpajakan 2025 akan dinikmati oleh rumah tangga, serta mendorong dunia usaha dan UMKM. Meskipun ada undang-undang perpajakan dan tarif pajak, pemerintah tetap peka untuk mendorong barang, jasa, dan pelaku ekonomi,” tambah Sri Mulyani.
Sri Mulyani juga mengungkapkan bahwa pemerintah akan terus mendengarkan berbagai masukan guna memperbaiki sistem dan kebijakan perpajakan yang berkeadilan. Dengan langkah-langkah ini, pemerintah berharap dapat menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, melindungi masyarakat, dan memastikan keberlanjutan APBN.
“Ini adalah paket kebijakan komprehensif yang akan terus disesuaikan berdasarkan data dan masukan. Kami akan terus menjaga keseimbangan dalam penggunaan APBN dan perpajakan sebagai instrumen untuk menjaga ekonomi, mewujudkan keadilan, dan gotong-royong,” tutup Sri Mulyani.