UPdates—Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Begitulah nasib perempuan berinisial MML, warga Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT).
You may also like : Bius Istri lalu Undang Puluhan Pria untuk Memperkosanya, Eks Suami Dipenjara 20 Tahun
Ia diperkosa di Desa Mandungo, Kecamatan Wewewa Selatan pada 2 Maret 2025 dan mencoba mencari keadilan dengan melapor ke polisi. Namun, bukan keadilan yang ia dapat melainkan perlakuan tak senonoh lainnya. Ia diduga dicabuli anggota Polri berinisial Aipda PS saat melaporkan pemerkosaan yang menimpanya.
You might be interested : Kapolres Cabuli 3 Anak di Bawah Umur dan Jual Videonya di Situs Porno, DPR: Hukum Mati
Saat memberikan keterangan, MML diperiksa oleh Aipda PS. Namun, dalam proses pemeriksaan tersebut, MML diduga justru menjadi korban kekerasan seksual oleh anggota polisi yang menangani laporannya tersebut. MML mendapat perlakuan cabul dari Aipda PS.
Setelah peristiwa itu, Aipda PS disebut meminta MML untuk tidak menceritakan kejadian tersebut kepada siapapun. Dan nasib korban makin memiriskan sebab kasus pemerkosaan yang menimpanya di-SP3-kan alias dihentikan penyidikannya.
Alasan keluarnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) itu karena polisi menyebut hubungan seksual dilakukan atas dasar suka sama suka. Padahal, MML mengaku diancam dengan parang oleh pelaku sebelum diperkosa.
Putus asa dan merasa tidak ada lagi yang bisa membantunya, MML akhirnya memberanikan diri untuk bersuara di media sosial hingga unggahannya menuai perhatian publik dan anggota DPR RI.
Anggota Komisi III DPR RI Sarifuddin Sudding menegaskan, kasus ini merupakan bentuk kegagalan paling telanjang dari sistem hukum yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan bagi masyarakat.
Bagi Sarifuddin Sudding, kasus dugaan pelecehan seksual terhadap korban yang melapor ke kantor polisi di Polsek Wewewa Selatan ini membuktikan aparat penegak hukum telah gagal memberikan rasa aman kepada rakyat.
"Kasus ini merupakan bentuk kegagalan paling telanjang dari sistem hukum yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan bagi masyarakat. Seharusnya kantor polisi menjadi tempat paling aman bagi rakyat, tapi ini malah sebaliknya,” kata Sudding sebagaimana dilansir keidenesia.tv dari situs resmi DPR RI, Rabu, 11 Juni 2025.
Sebagai anggota komisi DPR yang membidangi urusan hukum dan pengawasan terhadap aparat penegak hukum, Sudding menyatakan bahwa kasus ini bukan sekadar pelanggaran etik, namun sudah kejahatan yang mempermalukan institusi Polri di mata publik.
"Seorang warga negara datang ke kantor polisi karena telah menjadi korban kejahatan seksual. Tapi alih-alih mendapat perlindungan, dia justru menjadi korban untuk kedua kalinya oleh mereka yang seharusnya menjadi pelindung," tegasnya.
Sudding mengatakan, kasus ini merupakan indikasi kegagalan sistemik dalam pembinaan personel. Termasuk dalam pengawasan internal, dan kultur kekuasaan di tubuh aparat penegak hukum.
"Jika kantor polisi berubah menjadi tempat pelecehan, maka seluruh konsep negara hukum sedang dalam bahaya," ujar Sudding.
Sejak Sabtu, 7 Juni, Aipda PS yang menjabat sebagai Kanit Provos Polsek Wewewa Selatan telah dijatuhi sanksi penempatan khusus (patsus) untuk menjalani proses hukum lebih lanjut. Sudding mendesak agar proses hukum terhadap Aipda PS dilakukan secara transparan dan berkeadilan.
“Tak bisa hanya diselesaikan dalam sidang etik atau diberi teguran atau sanksi ringan saja. Karena ini adalah kejahatan pidana, bukan hanya pelanggaran disiplin. Pelakunya harus diadili di pengadilan umum, dengan proses yang bisa diawasi oleh masyarakat," tegas Sudding.
Legislator dari Dapil Sulawesi Tengah itu mengatakan, Komisi III DPR akan meminta penjelasan soal penanganan kasus ini dari Polri. Hal ini sekaligus untuk mengevaluasi mekanisme pengawasan terhadap perilaku anggota di lapangan, terutama yang menangani kasus-kasus kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender.
"Kita tidak bisa terus-menerus berlindung di balik narasi 'oknum'. Jika kasus seperti ini terus muncul, berarti ada yang salah dalam sistem rekrutmen, pelatihan, dan pengawasan aparat. Sudah saatnya Polri membersihkan institusinya secara serius dari mental predator berseragam," kata Sudding.
Lebih lanjut, Sudding menilai kasus di NTT itu mengonfirmasi bahwa perlindungan korban kekerasan seksual masih jauh dari ideal.
“Kasus ini harus menjadi pengingat keras bahwa upaya reformasi hukum dan kelembagaan di Indonesia belum menyentuh akar masalah. Termasuk ketimpangan kekuasaan antara aparat dan warga sipil, serta budaya imunitas di tubuh penegak hukum," jelasnya.
Sudding pun mendesak agar dilakukan audit menyeluruh terhadap mekanisme pelaporan kekerasan seksual di seluruh jajaran kepolisian. Termasuk keharusan hadirnya petugas perempuan, pemisahan ruang pemeriksaan, dan pendampingan psikologis bagi korban. Ia menekankan bahwa hal ini tidak bisa ditunda lagi.
"Ketika korban lebih percaya media sosial daripada sistem hukum, maka jelas negara sedang kehilangan kredibilitasnya. Kasus ini harus menjadi titik balik. Negara harus hadir, bukan hanya dengan pidato, tapi dengan keadilan nyata dan sanksi tegas terhadap pelaku," tegas Sudding.