
UPdates—Lima mahasiswa menggugat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPRD (UU MD3) di Mahkamah Konstitusi (MK), meminta agar rakyat, dalam hal ini konstituen, bisa memberhentikan anggota DPR RI.
You may also like :
Ingatkan Prabowo jangan Salah Pilih Teman, Vokalis Letto: Bukan Hidup Jokowi, tapi Hidup Rakyat
Kelima penggugat tersebut yakni Ikhsan Fatkhul Azis, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, Muhammad Adnan, dan Tsalis Khoirul Fatna.
You might be interested :
Ditendang PDIP, Golkar Siapkan Karpet Merah untuk Jokowi
Dalam gugatannya, mereka menilai ketiadaan mekanisme pemberhentian anggota DPR oleh konstituen telah menempatkan peran pemilih dalam pemilu hanya sebatas prosedural formal.
Alasannya, anggota DPR terpilih ditentukan berdasarkan suara terbanyak, tetapi pemberhentiannya tidak lagi melibatkan rakyat.
Para pemohon dalam petitumnya meminta Mahkamah menafsirkan Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 menjadi "diusulkan oleh partai politiknya dan/atau konstituen di daerah pemilihannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Menanggapi gugatan anggota DPR RI bisa dipecat rakyat itu, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Bob Hasan mengaku tak mempermasalahkannya.
Politikus Fraksi Gerindra itu mengatakan, gugatan itu baik sebagai langkah yang harus dilakukan warga negara jika tak sependapat terhadap sebuah sistem atau aturan.
"Bukan bagus isinya, maksudnya itu memang satu dinamika yang harus terus dibangun ketika ada hal yang menurut pikiran dan perasaan umum rakyat Indonesia ketika ada ganjalannya bisa mengajukan gugatan judicial review," kata Bob di kompleks parlemen, Jakarta sebagaimana dilansir Keidenesia.tv dari CNN Indonesia, Jumat, 21 November 2025.
Ditegaskan Bob, mekanisme pencopotan anggota DPR oleh rakyat, bukan persoalan bisa atau tidak. Namun, apakah pasal yang mengatur pergantian DPR, bertentangan dengan UUD atau tidak.
"Semua di Mahkamah Konstitusi itu bukan masalah bisa dan tidak bisa, akan dipertimbangkan sepanjang ada tarikannya dengan konstitusi kita UUD 1945," tegasnya.
Sebagai hak warga negara, anggota DPR dari Fraksi PDIP, Darmadi Durianto juga mengaku tak mempermasalahkan gugatan tersebut. Namun, dia mempertanyakan mekanisme pemecatan dan rakyat mana yang bisa memiliki hak memecat.
"Nah kalau kemudian rakyat kemudian bisa langsung, ya rakyat yang mana, mekanismenya seperti apa, itu yang nanti harus dipertimbangkan," ujarnya.
Dijelaskan Darmadi, hingga saat ini tak ada mekanisme undang-undang yang mengatur PAW anggota DPR selain melalui partai politik. Makanya, ia berharap MK serius mencermati dasar gugatan tersebut.
"Kecuali aturan itu bisa diubah dan mekanismenya seperti apa ya harus dijelaskan dan dianalisis oleh MK juga begitu kira-kira," katanya.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar, Soedeson Tandra menilai mekanisme pemecatan anggota DPR yang diatur UU MD3 bukan ranah MK.
Soedeson berpandangan mekanisme pemecatan yang diatur dalam UU tersebut bersifat open legal policy alias kewenangan pembentuk undang-undang.
"Kalau saya masuk ke open legal policy. Yang bukan ranah Mahkamah Konstitusi. Saya berpendapat pribadi ya begitu," ujarnya.
Seperti poltikus Gerindra dan PDIP, Soedeson menilai gugatan tersebut merupakan hak setiap warga negara. Namun, dia meyakini ketentuan yang selama ini berlaku bukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar (UUD).
"Kecuali saya melakukan pidana dan sebagainya. Kan itu masuk open legal policy. Jadi enggak bisa dibatalin Mahkamah Konstitusi," katanya.
Wakil Ketua MPR dari Fraksi PAN Eddy Soeparno juga angkat suara. Ia menegaskan, merujuk ketentuan perundang-undangan, anggota DPR adalah tugas yang diberikan partai politik. Sehingga, meski dipilih rakyat, DPR juga merupakan perwakilan dari partai politik.
"Jadi saya dengan teman-teman lain yang ada di DPR, itu kita merupakan perwakilan partai politik. Sehingga yang memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi adalah partai politik," jelasnya.
Posisi masyarakat dalam hubungannya dengan evaluasi anggota DPR kata dia bisa dilakukan pada pemilu. Masyarakat menurut dia bisa mengevaluasi kinerja wakilnya selama menjabat anggota DPR.
"Apakah memenuhi janji-janjinya, mengurusi konstituennya, sehingga kemudian bisa mengevaluasi dan menentukan apakah mau memilih kembali atau tidak," paparnya.
Konstituen juga bisa menyampaikan keberatan lewat partai politik, jika wakilnya di DPR tak berkinerja baik. Termasuk usulan mengevaluasi anggota DPR yang menjadi wakil mereka.
"Tetapi sampai saat ini, mekanisme berdasarkan undang-undang, itu berada di tangan partai politik untuk melakukan evaluasi," kata Eddy.
Pergantian anggota DPR atau Pergantian Antar Waktu (PAW) selama ini diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3.
PAW bisa dilakukan terhadap anggota DPR yang meninggal dunia, mengundurkan diri, tak memenuhi syarat sebagai anggota DPR, dan terjerat kasus hukum lewat keputusan pengadilan dan berkekuatan hukum tetap.
Anggota DPR yang di-PAW digantikan oleh calon lain dengan perolehan suara terbanyak kedua pada pemilu terakhir dari daerah pemilihan yang sama.