UPdates—Anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani mengeritik rumah sakit. Ia menyoroti banyaknya kasus pasien dipaksa pulang, salah diagnosa, dan praktik urun.
You may also like : DPR Minta Kasus Keracunan Makan Bergizi Gratis Diinvestigasi
Politikus NasDem itu mengingatkan agar rumah sakit tidak semena-mena, termasuk membatasi masa rawat inap pasien Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Menurutnya, BPJS Kesehatan tidak pernah mengatur pembatasan jumlah hari rawat inap, sehingga tindakan rumah sakit yang mempercepat pemulangan pasien berpotensi membahayakan keselamatan.
“Banyak kasus pasien baru dirawat tiga hari lalu dipaksa pulang, padahal masih dalam kondisi sakit. Bahkan ada pasien yang kemudian meninggal karena penanganan tidak tuntas. Ini jelas merugikan masyarakat,” kata Irma sebagaimana dilansir keidenesia.tv dari situs resmi DPR RI, Kamis, 25 September 2025.
Sebelumnya, pernyataan itu ia sampaikan dalam Rapat Panja JKN Komisi IX DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu kemarin.
Rapat bertema Pengawasan terhadap Sistem Pengaduan Masyarakat dan Respons Pelayanan JKN ini turut dihadiri BPJS Kesehatan, Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, Ombudsman RI, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), serta Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI).
Irma mencontohkan, ada pasien di Medan yang dipaksa pulang oleh rumah sakit meskipun masih dalam kondisi menggunakan infus. Setelah dirinya melakukan intervensi, pasien akhirnya bisa tetap dirawat, namun beberapa hari kemudian meninggal dunia.
“Rumah sakit tidak boleh hanya berpikir soal risiko atau keuntungan. Sumpah dokter itu menempatkan nilai kemanusiaan di atas segalanya,” tegasnya.
Irma juga menyinggung masalah diagnosa yang tidak akurat. Menurutnya, banyak pasien meninggal akibat salah diagnosa awal, seperti kasus pasien sesak napas yang langsung dipulangkan, tetapi ternyata terkena serangan jantung.
Praktik sejumlah rumah sakit yang masih membebankan biaya tambahan atau urun biaya kepada pasien peserta JKN juga dikritik Irma. Ia menilai hal ini menyalahi prinsip pelayanan kesehatan yang seharusnya ditanggung BPJS Kesehatan.
“Banyak rumah sakit yang seharusnya menyediakan obat sesuai standar JKN, tetapi justru menyatakan tidak ada dan kemudian meresepkan obat di luar tanggungan. Ini jelas membebani masyarakat,” tegas Irma.
Bagi Irma, masalah urun biaya dan resep obat di luar tanggungan ini bukan kasus tunggal, melainkan sudah sering terjadi di berbagai rumah sakit.
“BPJS bersama PERSI harus menindak tegas praktik nakal ini. Rumah sakit jangan hanya berpikir keuntungan, tapi juga nilai kemanusiaan,” ujarnya.
Wakil rakyat dari dapil Sumatera Selatan II itu juga meminta BPJS Kesehatan memperbaiki sistem informasi kepada masyarakat.
Salah satunya dengan mewajibkan rumah sakit menempelkan daftar obat yang ditanggung maupun tidak ditanggung JKN di ruang pelayanan agar pasien tidak bingung.
“Pasien sering berdebat dengan rumah sakit karena tidak tahu mana obat yang dicover, mana yang tidak. Transparansi ini penting untuk menghindari kesalahpahaman,” tambahnya.
Kepada PERSI, Irma meminta mereka menindak rumah sakit yang memberikan pelayanan buruk, serta BPJS Kesehatan memastikan kontrak kerja sama hanya dengan rumah sakit yang memenuhi standar.
“BPJS adalah program kesehatan yang luar biasa bagi rakyat. Jangan sampai dikorbankan karena pelayanan rumah sakit yang tidak profesional,” ujarnya.
Menurut Irma, keberadaan BPJS Kesehatan sejatinya sudah sangat membantu rakyat, namun harus terus diawasi agar praktik di lapangan tidak menyimpang dari regulasi.