UPdates - Program transmigrasi yang sejak lama dijalankan pemerintah kini menghadapi ironi. Kawasan transmigrasi yang dibangun dengan dana negara, bahkan ditetapkan lokasinya oleh pemerintah sendiri, justru dinyatakan berada dalam kawasan hutan.
Situasi ini membuat status lahan warga transmigran yang sudah lama menetap menjadi terancam.
Dilansir dari laman DPR RI, Rabu, 17 September 2025, Ketua Komisi V DPR RI, Lasarus, menyebut persoalan ini semakin membingungkan karena pemerintah meminta masyarakat atau kementerian terkait membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk melepaskan status kawasan. Padahal, pembangunan kawasan transmigrasi sejak awal adalah program resmi negara.
You might be interested : Sentil Pemerintah, DPR Sebut BMKG bukan Pakai Piring Peramal, tapi Peralatan Canggih dan Mahal
“Yang lucu saya bilang, pemerintah bikin program dari tahun 70-an, 80-an. Kemudian pemerintah yang menempatkan, lokasinya mereka yang pilih. Kawasan ini dibangun pakai dana APBN, (mulai dari) rumah penduduknya, fasilitas umumnya, semua dibangun. Sekarang muncul status, rupanya desa tersebut berada dalam kawasan (hutan). Pemerintah pula yang menempatkan, sekarang statusnya dalam kawasan. Kalau harus keluar, harus bayar kepada negara lagi,” kata Lasarus dalam Rapat Kerja Komisi V di Gedung Nusantara, DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (16/9/2025).
Dalam Rapat Kerja Komisi V DPR RI dengan Menteri Desa PDT dan Menteri Transmigrasi, disampaikan bahwa terdapat 2.966 desa berada di dalam kawasan hutan, serta 15.481 desa lainnya berada di tepi atau sekitar kawasan hutan.
Data juga menunjukkan terdapat 17.650 bidang tanah transmigrasi yang tumpang tindih dengan kawasan hutan. Kondisi ini membuat proses administrasi semakin rumit, sebab pelepasan kawasan hutan masih dipersyaratkan dengan biaya tambahan.
Lasarus menilai, mekanisme penyelesaian seperti itu justru tidak adil dan berpotensi membebani masyarakat. Menurutnya, negara seharusnya hadir dengan kebijakan yang mempermudah, bukan malah memperumit warga yang sejak awal ditempatkan oleh program pemerintah.
“Bukan soal bayarnya, Pak Menteri. Kalau kita sih, bukan soal bayarnya. Toh kan pakai duit negara juga bayarnya. Bukan soal bayarnya. Cara menyelesaikan masalahnya menurut saya ini nggak cerdas kita,” tegas politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu.
Komisi V DPR mendorong pemerintah agar mengambil kebijakan yang jelas dan tidak membebani kementerian maupun masyarakat transmigran. Dengan anggaran yang relatif kecil dibanding kementerian lain, Kementerian Desa PDT dan Transmigrasi dinilai tidak layak dibebani kewajiban finansial tambahan untuk persoalan yang sejak awal merupakan tanggung jawab negara.