UPdates—Sebagian besar kepala daerah terpilih pada Pilkada 2024 akan dilantik 20 Februari mendatang. Menjelang pelantikan tersebut, DPR RI kembali mengingatkan agar pejabat pemerintah tidak lagi mengangkat honorer.
Tahun-tahun sebelumnya, pergantian pemerintahan memang seringkali diikuti dengan pengangkatan honorer. Bahkan, sudah bukan rahasia bahwa pengangkatan honorer ini menjadi salah satu jurus merayu pemilih dan mencari tim sukses saat Pilkada.
Namun, mulai 2025 ini, tidak boleh lagi ada tenaga honorer di instansi pemerintah. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) tahun 2023 yang telah berlaku.
You might be interested : Gaji Guru Naik di 2025, Puan Ingatkan Janji Angkat 1 Juta Honorer Jadi PPPK
Sebagai gantinya, pengangkatan pegawai di luar PNS akan dilakukan melalui skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Larangan pengangkatan honorer ini ditegaskan Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda saat mereka mengevaluasi permasalahan dalam proses perekrutan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Menurutnya, ada beberapa kendala yang ditemukan antara lain terkait kelengkapan dokumen ijazah serta batas usia bagi calon PPPK.
Diketahui, lebih dari 1.000 pelamar PPPK tidak memiliki ijazah yang sesuai dengan persyaratan. Sementara itu, sejumlah calon telah melewati batas usia yang telah ditetapkan.
Rifqinizamy Karsayuda menegaskan bahwa penyelesaian persoalan tenaga honorer akan menjadi legacy bagi Komisi II DPR RI periode ini, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
“Jika perlu revisi UU ASN maupun undang-undang lainnya, Komisi II akan segera melakukan percepatan. Prinsipnya, selesaikan nasib mereka yang ada di database honorer, dan pejabat jangan lagi mengangkat tenaga honorer. Harus ditegaskan, kalau tetap nekat, bisa menjadi dasar bagi DPRD untuk melakukan impeachment,” tegasnya sebagaimana dilansir keidenesia.tv dari situs resmi DPR RI, Kamis, 6 Februari 2025.
Rifqi juga menyinggung kebijakan mandatori belanja pegawai sebesar 30% yang diterapkan di daerah. “Pemerintah pusat sudah menyiapkan kuotanya. Tetapi kemudian, kuota itu belum bisa dimaksimalkan oleh pemerintah daerah,” ujarnya.
Ia menilai kebijakan ini tidak sinkron dengan kebutuhan pemerintah yang mewajibkan perekrutan pegawai, namun di sisi lain justru membatasi belanja pegawai.
Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Zudan Arif, menambahkan bahwa semua pihak harus bersama-sama mencari solusi atas persoalan ini, karena masalahnya terus bertambah setiap tahun.
“Salah satu solusinya, sambil menunggu anggaran, diangkatlah PPPK Paruh Waktu terlebih dahulu. Mereka ini diberi kekuatan hukum dengan memiliki nomor induk pegawai, sehingga tidak bisa diberhentikan sewaktu-waktu di tengah jalan, sampai nanti anggaran memungkinkan untuk menjadi PPPK Penuh Waktu,” kata Zudan.
Menurutnya, kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah pusat, daerah, serta Komisi II DPR RI untuk terus bersinergi dalam memperbaiki regulasi agar tenaga honorer dapat terakomodasi dengan baik.