
UPdates—Malam Natal tahun ini terasa lebih hening di rumah kontrakan sempit di pinggiran Kalimalang, Cipinang, Jakarta Timur.
You may also like :
Diskon Tiket Pesawat Mulai Hari Ini, Penerbangan Mulai 22 Desember hingga 10 Januari 2026
Di atas meja makan, lilin kecil menyala menggantikan pohon Natal yang tak sempat dibeli.
You might be interested :
PHK Massal Mengancam Indonesia, DPR: Cegah, Jangan Sampai Terlambat
Maria (38) menata piring dengan rapi. Dua anaknya duduk berhadapan; menunggu ayah mereka yang hanya bisa hadir lewat layar ponsel.
Suaminya, Anton, bekerja sebagai buruh bangunan di Surabaya. Biasanya, Natal dan Tahun Baru menjadi satu-satunya momen pulang kampung.
Namun Nataru 2025 ini berbeda. Harga tiket pesawat melonjak bekali lipat, tiket kereta penuh sejak jauh hari, sementara cuti kerja Anton tak bisa diperpanjang.
“Kami sempat hitung-hitungan. Kalau pulang, gaji bulan depan habis hanya untuk ongkos,” ujar Maria pelan sebagaimana dilansir Keidenesia.tv dari situs resmi DPR RI, Minggu, 28 Desember 2025.
Pilihan itu terasa kejam, tapi terpaksa diambil.
Cerita pilu ini bukan hanya kisah keluarga Maria. Di berbagai kota, banyak keluarga kelas menengah ke bawah menghadapi dilema serupa: pulang kampung atau bertahan di perantauan.
Bagi mereka, Natal dan Tahun Baru bukan sekadar libur panjang, melainkan momen pulang—mengikat kembali rasa keluarga yang terpisah jarak dan waktu.
Namun, lonjakan harga tiket transportasi selama Nataru 2025 membuat ruang pilihan semakin sempit.
Di terminal, bandara, hingga pelabuhan, wajah-wajah lelah menyimpan cerita yang sama: keinginan pulang yang tertahan oleh angka di layar pemesanan.
Rina (27), pekerja ritel di Bandung, mengaku baru pertama kali merayakan Tahun Baru sendirian.
“Biasanya saya pulang ke Garut. Tahun ini tiket bus saja naik hampir dua kali lipat. Saya memilih kirim uang saja ke orang tua,” katanya.
Bagi sebagian orang, keputusan bertahan bukan soal tidak rindu, melainkan soal bertahan hidup setelah libur usai.
Dampak paling sunyi dari mahalnya tiket sering kali dirasakan anak-anak. Mereka belajar memahami keadaan sebelum waktunya.
“Papa kerja jauh supaya kita bisa sekolah,” kata Samuel (9), anak Maria, saat ditanya mengapa ayahnya tidak pulang. Kalimat itu terdengar dewasa untuk usia seusianya.
Psikolog keluarga mencatat, momen kebersamaan seperti Natal dan Tahun Baru memiliki makna emosional besar bagi anak. Ketidakhadiran orang tua, meski dipahami secara rasional, tetap menyisakan ruang kosong yang sulit dijelaskan.
Akan tetapi, keluarga-keluarga ini memilih bertahan, merayakan dengan cara sederhana, dan menyimpan rindu sebagai bagian dari perjuangan.
Di tengah narasi arus mudik, kemacetan, dan lonjakan wisata, ada suara-suara sunyi yang jarang masuk pemberitaan: mereka yang tidak jadi mudik.
Mereka tidak tercatat dalam angka pergerakan penumpang, tetapi keberadaannya nyata.
Bagi warga seperti Maria, kebijakan transportasi saat Nataru bukan sekadar angka statistik. Ia hadir langsung di meja makan, di layar ponsel, dan dalam keputusan-keputusan kecil yang berdampak besar bagi keutuhan keluarga.
“Kami tidak minta murah sekali. Kalau bisa terjangkau saja, supaya kami bisa pulang,” keluh Maria.
Natal dan Tahun Baru adalah momen paling personal bagi banyak keluarga Indonesia. Ketika harga tiket melonjak tanpa kendali, yang dipertaruhkan bukan hanya mobilitas, tetapi juga kebersamaan dan kesehatan emosional keluarga.
Di sinilah suara publik menemukan maknanya sebagai bahan refleksi kebijakan. Negara—melalui regulasi, pengawasan, dan keberpihakan—diharapkan hadir bukan hanya menjaga arus lalu lintas, tetapi juga memastikan keadilan akses bagi seluruh lapisan masyarakat.
Di rumah kontrakan itu, Maria dan anak-anaknya menutup malam Natal dengan doa sederhana: kesehatan, pekerjaan yang cukup, dan harapan bisa pulang bersama tahun depan.
Mudik boleh sunyi tahun ini. Tapi harapan, mereka jaga agar tetap hidup.
Cerita-cerita semacam ini juga sampai ke telinga wakil rakyat. Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Samsurijal menilai lonjakan harga tiket saat Nataru bukan sekadar persoalan teknis transportasi, melainkan menyentuh langsung kehidupan keluarga.
“Bagi sebagian masyarakat, mudik saat Natal dan Tahun Baru bukan liburan, tapi kebutuhan batin untuk bertemu keluarga. Ketika tiket menjadi terlalu mahal, yang hilang bukan hanya perjalanan, tetapi juga momen kebersamaan yang sangat berarti,” ujar Cucun.
Politikus PKB itu mengatakan, negara tidak boleh abai terhadap dampak sosial dari kebijakan transportasi musiman.
“Kita harus mendengar suara keluarga-keluarga yang memilih tidak pulang karena biaya. Ini menjadi catatan penting bagi DPR untuk mendorong pengawasan yang lebih kuat agar kebijakan transportasi saat Nataru benar-benar berpihak pada rakyat,” katanya.
Ditegaskan Cucun, kehadiran negara seharusnya terasa justru pada momen-momen paling personal masyarakat.
“Tugas kami di DPR adalah memastikan negara hadir, bukan hanya mengatur arus kendaraan, tetapi juga menjaga agar akses pulang kampung tetap adil dan manusiawi bagi semua lapisan,” tuturnya.
Harga tiket, khususnya pesawat belakangan ini menjadi sorotan. Untuk tiket pesawat Jakarta-Medan misalnya, harganya sempat tembus Rp11 Juta.
Pemerintah sebenarnya sudah memberikan diskon, namun terkadang jadwal dan ketersediaan uang tidak berkesesuaian.
Layanan mudik gratis dengan transportasi lain juga disediakan. Namun, tujuan yang sudah ditentukan terkadang tidak sesuai dengan kebutuhan sejumlah warga.