UPdates—Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas presiden atau Presidential Threshold (PT) yang tertuang dalam UU Pemilu nomor 7 tahun 2017. MK menilai itu tidak sesuai dengan konstitusi.
Ketua MK, Suhartoyo dalam sidang pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta pada Kamis, 2 Januari 2025 mengatakan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden sebesar 20 persen bertentangan dengan UUD 1945.
"Menyatakan norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Selain itu juga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Suhartoyo sebagaimana dilansir keidenesia.tv dari RRI.co.id, Kamis, 2 Januari 2025.
Permohonan judicial review diajukan empat orang Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, yakni Enika Maya Oktavia, dkk. Para Pemohon mendalilkan prinsip "one man one vote one value" tersimpangi oleh adanya presidential threshold.
Hal ini menimbulkan penyimpangan pada prinsip "one value" karena nilai suara tidak selalu memiliki bobot yang sama. Idealnya, menurut para Pemohon, nilai suara seharusnya mengikuti periode pemilihan yang bersangkutan.
Namun, dalam kasus presidential threshold, nilai suara digunakan untuk dua periode pemilihan, yang dapat mengarah pada distorsi representasi dalam sistem demokrasi. Oleh karena itu, hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan atau penyimpangan pada prinsip asas periodik, nilai suara seharusnya mengikuti setiap periode pemilihan secara proporsional.
Dalil mengenai uji materiil ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) juga diajukan dalam dua perkara lainnya, yakni Perkara Nomor 87/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh empat dosen, antara lain Mantan Ketua Bawaslu Muhammad, Dian Fitri Sabrina, S Muchtadin Al Attas, serta Muhammad Saad.
Selain itu, Perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) yang diwakili Hadar Nafis Gumay serta perorangan Titi Anggraini. "Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Suhartoyo.
Sebelumnya aturan mengharuskan hanya parpol atau gabungan parpol dengan minimal 20 persen kursi DPR, atau 25 persen suara sah nasional yang memenuhi syarat untuk pencalonan dalam pilpres
Dengan keputusan MK ini, semua parpol peserta pemilu punya kesempatan untuk mengusulkan Presiden dan Wakil Presiden di Pilpres 2029.
MK mengambil pertimbangan bahwa pengusungan bakal calon Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan ambang batas tidaklah efektif. Aturan besaran ambang batas juga lebih menguntungkan parpol yang punya kursi di DPR.
"Sulit bagi partai politik merumuskan besaran atau persentase ambang batas untuk dinilai tidak memiliki benturan kepentingan atau conflict of interest," kata Wakil Ketua MK, Saldi Isra.
Saldi mengatakan ada kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap Pilpres hanya terdapat dua pasangan calon. Padahal, pengalaman Pilpres dengan dua pasangan calon membuat masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi.
"Bahkan jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal. Kecenderungan demikian, paling tidak dapat dilihat dalam fenomena pemilihan kepala daerah. Di mana dari waktu ke waktu semakin bergerak ke arah munculnya calon tunggal atau pemilihan dengan kotak kosong," jelasnya.
Saldi menyampaikan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dapat diusulkan oleh partai politik, sepanjang telah dinyatakan sebagai peserta pemilu.
"Dalam beberapa pemilu presiden dan wakil presiden terdapat dominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif yang memadai pasangan calon," katanya.
MK lantas menyarankan kepada DPR dan pemerintah dalam merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017, untuk memperhatikan jika pengusulan pasangan calon tidak didasari lagi oleh ambang batas. Saldi mengatakan partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon, maka dapat dikenakan sanksi larangan ikut serta dalam Pilpres berikutnya.
"Pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh parti politik atau, gabungan partai politik peserta pemilu. Tidak lagi didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional. Dalam hal ini, misalnya, jika jumlah partai politik peserta pemilu adalah 30, maka terbuka pula potensi terdapat 30 pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan partai politik peserta pemilu," jelas Saldi.