UPdates—Gaza adalah buku kisah tebal yang teramat pilu. Lembarannya bukan hanya berisi derita warga sipil biasa yang ditulis, namun juga mereka yang jadi penulis kisah itu sendiri; jurnalis.
You may also like : Israel Siap Gencatan Senjata 60 Hari, Hamas Ingin Perang Diakhiri Total
Jurnalis Gaza, Basher Abu Al-Shaar menuturkan kisah penderitaannya di rubrik First Person, Metro sebagaimana dilansir keidenesia.tv, Kamis, 31 Juli 2025.
You might be interested : Gaza, Kuburan Massal bagi Jurnalis
"Kami tidak lagi punya energi untuk menanggung kerasnya hidup dan penderitaan kelaparan. Dan saya tidak akan menunggu anak-anak saya mati di depan mata saya karena kelaparan," tulisnya di Facebook.
Ia mengatakan, begitulah cara yang terpaksa dipilihnya ketika tak bisa lagi menanggung beban penderitaan akibat kelaparan yang menimpa orang-orang terkasihnya.
"Beginilah cara saya mengumumkan bahwa saya menawarkan untuk menukar kamera saya – mata pencaharian saya sebagai jurnalis di Gaza – dengan sekarung tepung," ujarnya.
Menurutnya, itu adalah keputusan yang sangat sulit. Namun, ia tidak punya pilihan lain karena ada penderitaan anak-anaknya yang coba ia akhiri dengan pengorbanan itu.
"Rasanya seperti jiwa saya direnggut dari raga saya. Hati saya hancur, tetapi saya tidak tega melihat ketujuh anak saya – semuanya berusia di bawah 19 tahun – kelaparan, jadi saya merasa tidak punya pilihan lain," katanya.
Basher Abu Al-Shaar mengaku menjadi jurnalis pada tahun 2010 dan mulai meliput pertemuan umum, seminar, pertandingan olahraga, dan acara komunitas.
"Saya tertarik pada kisah-kisah tentang orang-orang; perjuangan mereka, pencapaian mereka, ketangguhan mereka yang tak terlihat," ungkapnya.
Pada masa-masa awal itu, ia mengaku tidak punya kamera. "Tetapi impian saya adalah memilikinya. Jadi saya menabung selama setahun penuh, berkorban begitu banyak," jelasnya.
"Akhirnya, saya berhasil. Harganya 2.700 shekel (sekitar Rp13 juta), tetapi kameranya rusak dan lensanya pecah. Akhirnya, saya menggantinya dengan Canon D80, yang masih saya miliki hingga hari ini," lanjut Basher Abu Al-Shaar.
Seperti jurnalis pada umumnya, kamera adalah "senjata" sekaligus teman bagi Basher Abu Al-Shaar. Dengan kameranya, orang-orang di seluruh dunia bisa melihat kondisi Gaza yang terkepung selama bertahun-tahun.
"Kamera itu menjadi teman saya, mata ketiga saya yang melihat Gaza dan menunjukkannya kepada dunia. Saya mendokumentasikan pernikahan dan pemakaman, peristiwa politik, dan momen-momen kehidupan sehari-hari," katanya.
Setelah memiliki halaman Facebook sendiri sejak 2011, ia kemudian meluncurkan halaman baru pada tahun 2017 yang membagikan foto dan video yang menunjukkan lingkungan dan tradisi di Gaza.
"Melalui lensa kamera, saya mencoba mempromosikan perdamaian, kesadaran, dan nilai-nilai yang saya yakini dapat menyatukan komunitas kami," ujarnya.
Halaman Facebook miliknya yang terakhir telah berkembang dan punya 67.000 pengikut. Dan, selama 20 bulan terakhir, ia mendokumentasikan perang di Gaza.
"Kamera saya menangkap sesuatu yang sama sekali berbeda: kehancuran. Saya merekam seluruh lingkungan yang hancur menjadi puing-puing, penderitaan anak-anak, dan kepedihan keluarga-keluarga yang mengungsi," ucapnya.
Baru-baru ini, halaman Facebooknya telah menjadi platform, tidak hanya bagi orang-orang untuk mencari barang-barang yang hilang akibat pemboman atau pengungsian, tetapi juga untuk mencari anak-anak dan orang-orang terkasih yang hilang.
"Suatu ketika, seorang anak autis ditemukan berkeliaran. Sekelompok dari kami merawatnya dan mengunggah foto di halaman Facebook yang saya harap akan sampai ke keluarganya, karena saya tidak tahu siapa mereka," katanya.
"Kemudian pada hari itu, keluarga tersebut melihat unggahan tersebut dan dapat datang, dan mereka dipertemukan kembali dengan selamat. Anak-anak yang hilang seringkali dikembalikan ke keluarga mereka berkat halaman ini, dan halaman ini membawa kebahagiaan bagi saya di masa-masa sulit ini," sambungnya.
Dalam tulisannya di Metro, Basher Abu Al-Shaar juga membagikan foto-foto rumahnya yang hancur.
"Sangat menyedihkan, rumah saya dibom dan dihancurkan pada bulan Januari tahun ini dalam sebuah serangan yang menewaskan enam anak – keponakan saya – dan melukai putra saya yang berusia dua tahun, Rayan, dan saya sendiri," tuturnya.
Lebih parah lagi, Basher Abu Al-Shaar kehilangan semua peralatan jurnalismenya. "Kecuali satu kamera saya – satu-satunya sumber penghasilan saya," ungkapnya.
Meskipun mengalami dua cedera, satu di kepala dan satu lagi di kaki, ia saat itu tetap bekerja. "Saya terus bekerja, seringkali tanpa alat pelindung diri atau perlengkapan dasar," tandasnya.