UPdates—Ketua DPR RI Puan Maharani menyoroti kisruh pendaftaran siswa baru yang kembali terjadi di tahun ajaran baru 2025-2026 ini. Persoalan berulang ini menurutnya menjadi cerminan masih kurang maksimalnya sistem pendidikan nasional.
You may also like : Penerimaan Siswa Baru tak lagi Berdasar KK, SPMB Domisili Ganti Sistem Zonasi
"Setiap tahun, masalahnya nyaris sama, antrean sejak subuh, sistem digital yang eror, data domisili yang dipertanyakan, hingga praktik pungutan liar yang kini bahkan diakui oleh kepala daerah," kata Puan Maharani sebagaimana dilansir keidenesia.tv dari situs resmi DPR RI, Rabu, 18 Juni 2025.
You might be interested : Saat Cucu Bung Karno Merespons Polemik Gelar Pahlawan Soeharto
Politikus PDIP itu menegaskan, ini mesti disikapi serius. "Kondisi ini tidak bisa lagi dianggap sebagai gangguan musiman. Ini adalah krisis tata kelola yang dibiarkan rapuh selama bertahun-tahun," ujarnya.
Perempuan pertama yang menjabat sebagai ketua DPR RI itu menilai kekacauan SPMB (Sistem Penerimaan Murid Baru) bukan sekadar kegagalan administratif, melainkan pengabaian terhadap hak dasar anak Indonesia untuk mengakses pendidikan yang adil dan bermartabat.
"Ketika anak-anak ditolak dari sekolah yang hanya berjarak ratusan meter dari rumah mereka karena sistem zonasi digital yang tidak masuk akal, maka yang dilukai bukan hanya rasa keadilan, tetapi juga masa depan," tutur Puan.
SPMB menggantikan sistem PPDB yang sebelumnya berfokus pada zonasi. SPMB lebih menekankan pada faktor lain seperti domisili, afirmasi, prestasi, dan mutasi.
Namun, SPMB ini juga diwarnai dengan ketidakpastian dan protes orang tua murid di berbagai daerah. Banyak orang tua calon peserta didik baru menyatakan kekecewaan mereka lantaran anaknya tidak diterima di sekolah negeri favorit, meskipun rumah mereka dekat dengan sekolah tujuan. Sebaliknya, beberapa peserta yang tinggal jauh justru berhasil lolos seleksi.
Bahkan, ada laporan tentang dugaan manipulasi data domisili yang kembali muncul di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Makassar. Modusnya termasuk perpindahan domisili mendadak dan pemalsuan Kartu Keluarga (KK), yang diduga dilakukan untuk mengejar zona sekolah tertentu.
"Pendidikan seharusnya menjadi ruang paling aman dan inklusif untuk semua anak. Tapi kenyataannya, pintu masuk ke sekolah justru menjadi arena yang penuh ketidakpastian," ujar Puan.
Menurut Puan, sistem zonasi justru menjadi alat diskriminatif yang tidak mempertimbangkan realitas sosial dan geografis di beberapa daerah di mana anak-anak menjadi korban dari sistem yang tidak sensitif terhadap fakta lapangan.
Ia juga menyoroti lemahnya kontrol atas digitalisasi dalam sistem pendidikan dan meminta negara hadir saat sistem digital dan data domisili bisa dimanipulasi.
"Ketika data domisili bisa diatur sedemikian rupa oleh oknum, maka kita tidak sedang membangun sistem yang adil, kita sedang membiarkan penyimpangan berlangsung di balik layar," jelas mantan Menko PMK itu.
Cucu Bung Karno itu juga merasa miris karena hingga saat ini tidak ada pembenahan menyeluruh yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah. Makanya, ia menyerukan agar Pemerintah segera melakukan evaluasi total terhadap mekanisme PPDB, termasuk sistem zonasi yang terbukti menimbulkan ketimpangan dan diskriminasi akses.
"Audit independen terhadap sistem pendaftaran digital yang digunakan di seluruh provinsi, guna menutup celah manipulasi dan intervensi pihak ketiga,” tegas Puan.
Lebih lanjut, Puan meminta penegakan hukum ke pihak yang "nakal". “Penegakan hukum terhadap setiap bentuk pungli, suap, atau jual-beli kursi yang merusak integritas sistem pendidikan nasional juga harus diberlakukan," tegasnya.
Pemerintah juga diminta untuk melakukan pemerataan kualitas pendidikan di seluruh wilayah agar tidak terjadi konsentrasi sekolah unggulan hanya di titik-titik tertentu.
"Hak anak untuk bersekolah bukanlah hak istimewa, itu hak konstitusional yang wajib dipenuhi negara. Tidak ada alasan bagi negara untuk gagal menyelenggarakan proses masuk sekolah dengan transparan, manusiawi, dan adil," tutup Puan.