UPdates - Tan Malaka lahir pada 2 Juni 1897 di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.
You may also like : Prakiraan Cuaca Hari Ini, 2 Juni: Senin Pagi Hujan di Seluruh Sulsel, Kecuali Palopo dan Torut
Dilansir dari laman Gramedia.com, Senin, 2 Juni 2025, ia merupakan lulusan Kweekschool (Sekolah Guru) di Bukittinggi, Sumatera Barat. Karena kecerdasannya, Tan Malaka bersekolah di Belanda.
Namun, untuk bisa bersekolah di Negeri Kincir Angin tersebut Tan Malaka harus meminjam dana dari orang-orang di kampungnya dan mendapat bantuan dari mantan gurunya juga.
Pada awalnya, Tan Malaka ingin mendapatkan akta yang akan digunakannya menjadi kepala sekolah. Namun, karena sakit Tan Malaka hanya mendapatkan akta guru biasa.
Setelah selesai menempuh pendidikan di Belanda, Tan Malaka akhirnya pulang ke Indonesia dan menjadi pengajar untuk anak-anak kuli perkebunan teh di Tanjung Morawa, Deli, Sumatera Utara.
Tan Malaka lalu merantau ke Jawa dan pergi ke Semarang, Jawa Tengah. Di ibu kota provinsi Jawa Tengah itu Tan Malaka bergabung di Sarekat Islam cabang Semarang dan sempat membangun sekolah di Semarang.
Tan Malaka hidup secara nomaden atau berpindah-pindah tempat dari satu negara ke negara yang lain, termasuk Rusia yang menguat menjadi Uni Soviet. Di Uni Soviet Tan bergabung menjadi anggota Comintern atau anggota Komunis Internasional.
Tan Malaka sempat berselisih dengan penguasa di Uni Soviet, Joseph Stalin dan bahkan dituduh sebagai Trotskyis atau pandangan yang berbeda dengan Stalinisme.
Sebelum terjadinya Perang Dunia II, Tan Malaka hidup dalam penyamaran di sekitar Asia Tenggara. Pada masa-masa penyamaran itu, Tan Malaka memakai banyak nama samaran, seperti Ilyas Husein saat berada di Indonesia, Alisio Rivera saat berada di Filipina, Hasan Gozali saat berada di Singapura, Ossorio saat berada di Shanghai, dan Ong Soong Lee saat berada di Hong Kong.
Di akhir masa pendudukan Jepang di Indonesia, Tan Malaka menyamar sebagai mandor di Banten dan menghabiskan waktu untuk menulis karya besar yang masyhur yaitu buku berjudul Madilog.
Di masa revolusi, Tan Malaka dianggap sebagai otak dari Peristiwa 3 Juli 1946. Tan Malaka menentang hasil perundingan Republik Indonesia dengan Belanda. Saat itu, Tan Malaka menuntut Indonesia Merdeka 100 persen dari penjajah.
Tan Malaka terlibat dalam Persatuan Perjuangan bersama dengan Jenderal Sudirman.
Tan Malaka juga pernah mendirikan sebuah partai bernama Musyawarah Rakyat Banyak (Murba). Partai ini pernah mengikuti Pemilu pada tahun 1955, tetapi dibekukan pada tahun 1965.
Tan Malaka kemudian terbunuh sekitar Februari 1949. Tan Malaka tewas ditembak oleh pasukan militer Indonesia tanpa adanya pengadilan di Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Jawa Timur pada 21 Februari 1949. Eksekutornya berasal dari Brigade Sikatan atas perintah dari petinggi militer di Jawa Timur.
Tan Malaka dibunuh oleh militer karena perlawanannya yang konsisten terhadap pemerintah. Pada saat itu, pemerintah justru bersikap moderat dengan penuh kompromi terhadap pemerintahan Belanda.