UPdates—Anggota Komisi V DPR RI Syafiuddin Asmoro menolak kebijakan potongan aplikasi 30 persen untuk driver ojek online (Ojol). Menurutnya, potongan itu tidak sesuai Keputusan Menteri Perhubungan.
Selain itu, potongan tersebut akan memberatkan para mitra pengemudi. Makanya, dia meminta pemerintah turun tangan menyelesaikan persoalan ini.
Dijelaskan Syafiuddin, potongan aplikasi untuk mitra pengemudi sudah sangat jelas diatur dalam Keputusan Menteri Perubahan Nomor KP 1001 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 667 Tahun 2022 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi.
Dalam diktum kedelapan Keputusan Menteri Perhubungan disebutkan bahwa perusahaan aplikasi menerapkan biaya tidak langsung berupa biaya sewa penggunaan aplikasi paling tinggi 15 persen dan/atau perusahaan aplikasi dapat menerapkan biaya penunjang berupa biaya dukungan kesejahteraan mitra pengemudi paling tinggi 5 persen.
“Jika ditotal, maka besaran potongan aplikasi sebesar 20 persen. Itu angka paling tinggi. Jadi, tidak boleh melebihi 20 persen,” tegas Syafiuddin dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu, 19 Januari 2025 sebagaimana dilansir keidenesia.tv dari situs resmi DPR RI.
Karena itu, legislator asal Dapil Jawa Timur XI itu menegaskan dirinya menolak keras jika perusahaan aplikasi atau aplikator menerapkan potongan aplikasi sebesar 30 persen bagi mitra pengemudi yang jelas-jelas melanggar peraturan yang telah ditetapkan.
“Kami meminta perusahaan aplikasi mentaati aturan yang ada. Jangan membuat kebijakan yang menyalahi aturan, karena hal itu akan melanggar aturan dan merusak tatatan,” ujarnya.
Politisi kelahiran Bangkalan, Madura itu menjelaskan, dalam Keputusan Menteri Perhubungan itu juga disebutkan bahwa jika perusahaan aplikasi melanggar penerapan biaya jasa, biaya tidak langsung, dan biaya penunjang kepada mitra, maka Kementerian Perhubungan bisa menerbitkan rekomendasi pemberian sanksi kepada perusahaan aplikasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Untuk itu, lanjut Syafiuddin, perusahaan aplikasi tidak bisa seenaknya menerapkan aturan pemotongan aplikasi, karena semuanya sudah diatur. Jika mereka melanggar, maka mereka akan dijatuhi sanksi.
“Jika mereka ngotot menerapkan potongan 30 persen, kami akan panggil perusahaan aplikasi. Mereka (perusahaan aplikasi) tidak boleh main-main soal ini, karena itu jelas memberatkan, merugikan, dan menyengsarakan driver ojol,” katanya.
Komisi V sudah pernah memanggil pihak aplikator. Dalam pertemuan itu, mereka juga membahas soal potongan aplikasi. Jadi, seharusnya kata dia, perusahaan aplikasi sudah memahami dan patuh dengan aturan yang telah ditetapkan.
Politisi Fraksi PKB ini meminta pemerintah memberikan perhatian serius terhadap persoalan itu, karena potongan aplikasi ini sangat berkaitan dengan kesejahteraan driver ojol.
Menurutnya, Kementerian Perhubungan dan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) harus duduk bersama menyelesaikan masalah tersebut.
“Pemerintah tidak boleh saling lempar dalam masalah ini. Kementerian Perhubungan dan Komdigi harus bersikap tegas terhadap perusahaan aplikasi,” pungkas Syafiuddin.
Sebelumnya, Chief of Public Affairs Grab Indonesia, Tirza Munusamy menanggapi keluhan asosiasi ojek online (ojol) Garda Indonesia mengenai potongan aplikasi yang mencapai 30 persen. Grab berdalih kebijakan tersebut tak menyalahi aturan yang berlaku.
Tirza menjelaskan, biaya layanan tersebut merupakan bentuk bagi hasil antara perusahaan aplikator dengan mitra dalam menyediakan layanan transportasi bagi masyarakat.
Dia memastikan, sebagian dari biaya layanan itu dikembalikan untuk menunjang kebutuhan dan membantu pengembangan ojol. Misalnya, untuk dukungan operasional, insentif, beasiswa dan asuransi kecelakaan.