UPdates—Anggota Komisi V DPR RI, Rofik Hananto, menilai insiden tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali, tidak hanya merupakan bencana transportasi laut biasa. Menurutnya, itu sebuah indikasi nyata dari kegagalan sistem pengawasan keselamatan pelayaran nasional.
You may also like : Tolak Potongan Biaya Aplikasi Ojek Online 30 Persen, Komisi V: Jangan Main-main
Rofik pun mengungkap fakta mengejutkan. Ia menjelaskan bahwa tragedi berlangsung sangat cepat, dan nyaris tanpa prosedur keselamatan yang layak. Tidak ada pengarahan keselamatan (safety induction), tidak ada penjelasan mengenai lokasi jaket pelampung, jalur evakuasi darurat, atau sekoci.
"Sebagian besar korban selamat hanya karena menemukan jaket pelampung yang tercecer di dek kapal," ujar Rofik dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu, 6 Juli 2025 sebagaimana dilansir keidenesia.tv dari situs resmi DPR RI.
Hal ini kata dia jelas melanggar Pasal 117 UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yang masih berlaku meski sudah mengalami sebagian revisi melalui UU No. 66 Tahun 2024. Keselamatan adalah harga mati dalam setiap angkutan penyeberangan.
Belum lagi ada sejumlah fakta, lanjut Rofik, dimana ada beberapa korban tidak tercatat dalam manifes resmi penumpang. Hal tersebut merupakan pelanggaran serius, karena tidak hanya mempersulit proses identifikasi dan evakuasi, namun juga menyiratkan adanya kelebihan muatan serta ketidakpatuhan pada regulasi pencatatan.
“Ini adalah pelanggaran mutlak terhadap Pasal 137 UU No. 17 Tahun 2008, yang menegaskan bahwa hanya penumpang yang terdaftar dalam manifes yang sah untuk diangkut. Jika penumpang tidak terdaftar, dan terjadi kecelakaan, maka operator wajib bertanggung jawab secara hukum dan memberikan ganti rugi,” tegasnya.
Kejadian seperti yang menimpa KMP Tunu Pratama Jaya ini sejatinya bukan yang pertama kali. Peristiwa serupa pernah terjadi pada KMP Yunicee tahun 2021, di mana ditemukan kelebihan muatan, manifes tidak akurat, serta hanya satu sekoci karet yang berfungsi.
“Ini bukan yang pertama, dan jika tidak ada perbaikan sistemik, ini juga berpotensi bukan yang terakhir. Pengawasan yang lemah, birokrasi yang permisif, dan operator yang abai telah menciptakan rantai kelalaian yang berujung pada jatuhnya korban jiwa,” jelasnya.
Makanya, politisi Fraksi Partai Golkar ini mendesak agar ada investigasi menyeluruh oleh KNKT dan Kementerian Perhubungan untuk mengetahui penyebab teknis tenggelamnya kapal.
Termasuk kemungkinan kerusakan struktural atau kelebihan beban juga audit nasional seluruh moda transportasi penyeberangan, serta digitalisasi dan integrasi manifes penumpang dengan sistem identitas nasional.
“Kejadian seperti ini perlu adanya penegakan hukum tanpa kompromi terhadap pihak-pihak yang lalai, termasuk syahbandar, nahkoda, operator kapal dan juga merevisi aturan teknis turunan UU No. 66 Tahun 2024, agar safety induction menjadi kewajiban standar yang diawasi langsung sebelum kapal diberangkatkan,” tandasnya.