UPdates—Masuknya Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) dalam daftar nominasi tokoh dunia yang dinilai berkontribusi besar dalam memperburuk kejahatan terorganisir dan korupsi versi organisasi nirlaba, Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) menjadi perdebatan publik.
You may also like : Rocky Gerung Sebut Hasto Tersangka karena Perintah Politik Jokowi, PDIP: Ini Kriminalisasi
Oleh para pendukungnya, itu dianggap sebagai fitnah terhadap mantan presiden dan voting yang memunculkan nama Jokowi mereka sebut sarat rekayasa.
You might be interested : Bilang Petani tak Terurus di Era Mega, SBY, Jokowi, dan Puji Prabowo, Menteri Zulhas Dicap Penjilat
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam pernyataan resminya sebagaimana dilansir keidenesia.tv dari situs resmi organisasi bantuan hukum tersebut pada Sabtu, 4 Januari 2025 menegaskan, masuknya Jokowi sebagai salah satu nominasi adalah preseden buruk bagi situasi demokrasi, Negara Hukum, dan hak asasi manusia.
Kendati demikian, YLBHI memandang bahwa label tokoh paling koruptif sepanjang tahun 2024 yang dirilis oleh OCCRP memiliki dasar kuat.
YLBHI melihat setidaknya ada 10 faktor Jokowi layak disebut sebagai koruptor. Pertama, Pelemahan KPK Secara Sistematis. Menurut YLBHI, di tahun 2014, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia menyentuh angka 34 setelah mengalami tren kenaikan gradual dari 17 di tahun 2000. Tapi sekarang, indeks ini mengalami stagnasi bahkan tren penurunan jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang lepas landas lainnya.
"Di tanggal 13 Februari 2019, sebanyak sembilan fraksi di DPR menyetujui Revisi UU KPK, dengan begitu lembaga anti rasuah ini tidak lagi menjadi lembaga independen, karena kelembagaannya berada di bawah presiden. Karena revisi ini, para pegawai KPK kemudian perlu berubah status menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS)," kata YLBHI.
Kedua, Revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (2020). Menurut YLBHI, selain proses pembentukannya tidak melibatkan partisipasi publik secara bermakna, LBH Padang (2020) mencatat ada empat poin krusial dalam revisi ini. Termasuk, pasal kriminalisasi masyarakat yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan, yang berpotensi menjadi pasal karet untuk membungkam perjuangan masyarakat di sekitar tambang yang terampas ruang hidupnya.
Ketiga, Omnibus Law dan Pengabaian Check and Balances. DIjelaskan YLBHI, publik masih mengingat bahwa draft RUU Omnibus Law lahirnya dari Istana. Jokowi menurut mereka kala itu meminta DPR untuk mengesahkan dalam kurun waktu 100 hari. Di tengah penolakan keras dari rakyat, aliansi Legislatif dan Yudikatif menutup telinga dan matanya untuk mendengarkan aspirasi.
Bahkan, Jokowi tegas YLBHI membuat pernyataan intimidatif yang meminta BIN dan Polri “mendekati” kelompok masyarakat yang menolak paket kebijakan sapu jagat tersebut serta mengerahkan kepolisian untuk melakukan represi sistematis terhadap massa aksi di beberapa kota.
"Omnibus Law berakhir disahkan, namun dibatalkan oleh MK dengan syarat perlu melakukan revisi dengan prinsip partisipasi bermakna. Jokowi tidak mendengarkan putusan tersebut, namun malah membangkan dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) dengan substansi yang sama tanpa menyerap aspirasi rakyat," jelas YLBHI.
Keempat, Rezim Nihil Meritokrasi. Bagi YLBHI, sudah rahasia umum bahwa selama Jokowi menjabat, ia mengangkat beberapa individu yang mendukungnya dalam Pilpres masuk ke jabatan-jabatan spesial. Setidaknya, kata YLBHI, terdapat 13 relawan Jokowi dalam Pemilu 2019 telah menjadi komisaris BUMN. "Ditempatkannya orang-orang dekat Jokowi menunjukan praktik reformasi birokrasi dengan skema meritokrasi hanya jargon belaka," tegas YLBHI.
Kelima, Menghidupkan Kembali Dwifungsi Militer. Dalam pandangan YLBHI, Dwifungsi ABRI di Indonesia adalah sejarah lambang kekuasaan yang korup. Di masa kekuasaannya, Jokowi mencoba kembali menghidupkan praktek tersebut.
Dijelaskan YLBHI, Mahkamah Rakyat mencatat beberapa poin penting yang dapat menunjukkan kembalinya praktek ini. Termasuk pengesahan Undang-undang No. 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara.
"Di undang-undang ini jabatan sipil yang dapat diisi oleh militer aktif diperluas. Kedua, menempatkan 29 anggota TNI aktif menjabat secara ilegal di luar ketentuan UU TNI. Ini menyebar dari pemerintah pusat hingga mengisi posisi Pj kepala daerah. Ketiga, memberikan proyek food estate kepada Kementerian Pertahanan yang akhirnya melegitimasi tentara untuk berbisnis," papar YLBHI.
Keenam, Badan Usaha Milik Negara menjadi Badan Usaha Milik Relawan. YLBHI mengatakan, Erick Thohir melakukan perombakan pejabat perusahaan BUMN Eselon I. Menteri BUMN itu kata YLBHI menjelaskan tindakan tersebut merupakan arahan dari Jokowi. Dalam prakteknya, perombakan tersebut sarat akan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan melanggar Asas-Asas Pemerintahan Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) karena banyak pejabat perusahaan BUMN yang merangkap jabatan.
"Rangkap jabatan ini dilegitimasi dengan dirombaknya kebijakan yang awalnya melarang menjadi diperbolehkan. Beberapa pejabat perusahaan di BUMN tercatat juga melakukan rangkap jabatan. Ada juga bagi-bagi jabatan dilanjutkan oleh Erick, dengan mengangkat Bambang Sunarwibowo–seorang perwira aktif Polri dan Sekretaris Utama Badan Intelijen Negara sebagai Komisaris PT Aneka Tambang Tbk, pada 11 Juni 2020," jelas YLBHI.
Ketujuh, Intelijen untuk Kepentingan Politik. YLBHI menuduh Jokowi memberikan posisi kepada relawannya dalam Pilpres, Diaz Hendropriyono dan Gories Mere sebagai staf khusus intelijen istana. Diaktifkannya intelijen istana di masa Jokowi dimanfaatkan dengan baik olehnya sebagai alat untuk memperkuat posisi politiknya.
"Publik mengingat bahwa Jokowi pernah menyampaikan bahwa dirinya memiliki semua isi dapur partai politik yang dikumpulkan dari kerja-kerja intelijen. Dampaknya, tak hanya satu partai politik yang sempat diacak-acak oleh Jokowi dan gerbongnya. Diaz, ketika itu juga merupakan komisaris PT Telkomsel dan komisaris PT M Cash Integrasi Tbk," ungkap YLBHI.
Kedelapan, Represi dan Kriminalisasi. Menurut YLBHI, di antara dilahirkannya kebijakan-kebijakan tidak demokratis, serta politik bagi-bagi jabatan, rezim Jokowi membentengi ruang demokrasi rakyat dengan represi yang tiada henti. Aksi penolakan Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan direspons dengan penangkapan yang menimpa 22 buruh, 1 mahasiswa, dan 2 pengabdi bantuan hukum LBH Jakarta pada 2015.
"Di tahun 2019, LBH-YLBHI mencatat bahwa setidaknya terdapat 6.128 masyarakat sipil yang menjadi korban pelanggaran kebebasan berpendapat di muka umum. Di Papua, gerakan di Papua dan Papua Barat yang menentang rasisme aparat kepolisian dan tentara terhadap rakyat Papua di Surabaya direspons dengan pengerahan 6.500 personel Brimob dan tentara. 1.013 orang ditangkap dan 61 orang tewas," kata YLBHI.
Di tahun selanjutnya kata YLBHI, gerakan Anti-Omnibus Law direspons dengan represi sistematis setidaknya terdapat 5.918 orang ditangkap secara sewenang-wenang dan 480 orang dikriminalisasi.
Menjelang lengser keprabon kata YLBHI, agenda Jokowi meloloskan anaknya untuk maju dalam Pilkada direspons oleh gerakan masyarakat sipil dengan aksi massa di 44 daerah. Data YLBHI, 12 titik aksi di antaranya direspons dengan represi.
"YLBHI dan jaringan mencatat setidaknya terdapat 333 massa aksi yang menjadi korban dengan berbagai macam bentuk serangan dari polisi, aparat berbaju bebas, dan tentara. Bentuk-bentuk serangan tersebut di antaranya adalah doxing, perampasan aset, penganiayaan, perburuan, penangkapan sewenang-wenang, kriminalisasi, penghilangan paksa dalam waktu singkat, hingga penghalang-halangan pendampingan hukum," lanjut YLBHI.
Kesembilan, Proyek Strategis Nasional Merampas Ruang Hidup Rakyat. YLBHI menilai banyak langkah korup yang dilakukan oleh rezim Jokowi untuk memperlancar Proyek Strategis Nasional. Jokowi menurut YLBHI membuat pondasi kebijakan: Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2015 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, PP No. 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dan segala revisinya, serta Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan.
"Kebijakan ini dalam banyak praktek bisnis, dijadikan sebagai stempel untuk memuluskan proses pembebasan lahan. Rempang Eco City, Wadas, dan Pulau Komodo adalah contohnya. Bahkan, Majelis Rakyat Luar Biasa 2024 lalu mencatat bahwa, Jokowi melegitimasi deforestasi 2 juta hektar hutan untuk proyek PSN ketahanan pangan," jelas YLBHI.
Kesepuluh, Nepotisme Kekuasaan. Dipaparkan YLBHI, di akhir masa jabatannya, Jokowi mencoba segala cara dengan memobilisasi polisi, menteri, dan para relawannya, serta menggunakan fasilitas negara termasuk bantuan sosial untuk mengamankan posisi anaknya memenangkan kursi Wakil Presiden dalam Pilpres 2024.
"Tidak berhenti di situ, Jokowi juga terlihat mensponsori menantu, dan anaknya maju dalam pemilihan kepala daerah dengan sekali lagi mencoba untuk merevisi Undang-undang Pilkada," kata YLBHI.
YLBHI menyebut nama-nama seperti Bobby Nasution, Ahmad Luthfi, sekretaris pribadi Iriana Jokowi, Sendi Ferdiansyah, dan Khofifah Indar Parawansa. Upaya penempatan orang-orang terdekat Jokowi seperti ini, klaim YLBHI dibarengi dengan santernya usulan percepatan pelaksanaan Pilkada 2024, dengan merevisi UU Pilkada.
"Melalui surat presiden, Jokowi meminta bahwa revisi Undang-Undang Pilkada, di antaranya memuat dimajukannya pelaksanaan Pilkada dari jadwal awalnya, yaitu pada bulan November 2024, menjadi September. Artinya, satu bulan sebelum Jokowi lengser keprabon," sebut YLBHI.
Menurut YLBHI, mereka melihat adanya beberapa indikasi tipe korupsi yang dilakukan oleh Jokowi. Termasuk political bribery yang melibatkan pembuatan Undang-undang yang disesuaikan dengan kepentingan pemberi kekuasaan. Selain itu, election fraud yang berkaitan dengan kecurangan saat pemilihan umum. Ini dilakukan dengan memobilisasi para menteri dan kepolisian untuk terlibat dalam kampanye Pilpres 2024.
Kemudian, Corrupt Campaign Practice, dimana seseorang menggunakan fasilitas-fasilitas negara untuk kepentingan kampanye politiknya, terlihat dalam pengadaan bantuan sosial dan pembagiannya dilakukan menjelang Pilpres 2024.
Jokowi menurut YLBHI juga melakukan discretionary corruption, membuat kebijakan-kebijakan yang mementingkan kepentingan pribadi dengan kekuasaan yang dimiliki. Itu terlihat ketika Jokowi berupaya untuk melanjutkan kekuasaan 3 periode dan upaya untuk memajukan waktu pelaksanaan Pilkada 2024.
Selanjutnya, illegal corruption, yaitu korupsi yang dilakukan dengan mengobrak-abrik hukum dan bahasa hukum, yang memiliki potensi digunakan oleh aparat penegak hukum. "Kami sering melihatnya dalam tindakan-tindakan kriminalisasi dan represi terhadap rakyat yang menggunakan haknya bersuara dianggap melawan aparat, merusak fasilitas umum, dan melanggar ketertiban," ungkap YLBHI.
Mereka juga menuduh Jokowi melakukan ideological corruption yang merupakan penggabungan dari discretionary corruption dan illegal corruption; dan mercenary corruption atau menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi.
Jokowi sendiri menanggapi penasbihan dirinya sebagai finalis pemimpin terkorup oleh OCCRP dengan santai. Ia mengatakan tuduhan itu harus dibuktikan. Jokowi juga menegaskan saat ini banyak fitnah yang diarahkan padanya.