
UPdates—Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membeberkan bahwa Gubernur Riau, Abdul Wahid (AW) diduga meminta “jatah preman” hingga Rp7 miliar dari proyek pembangunan jalan dan jembatan. Istilah itu muncul dalam proses komunikasi yang dilakukan pihak-pihak terkait.
You may also like :
Ini 5 Pimpinan KPK Terpilih, Ketua, dan Dewan Pengawas Periode 2024-2029
Aksi korupsi ini bermula pada Mei 2025 ketika Sekretaris Dinas PUPR-PKPP Riau, Ferry Yonanda (FY) bertemu dengan enam Kepala UPT Wilayah I-VI Riau.
You might be interested :
Mahfud MD Sebut Korupsi di Indonesia Sudah Sangat Parah
Dalam pertemuan tersebut, Ferry Yonanda dan Kepala UPT membahas kesanggupan pemberian fee untuk disetorkan kepada Abdul Wahid.
Hal itu diungkap Wakil Ketua KPK Johanis Tanak saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu, 5 November 2025.
"Fee tersebut atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP. Kenaikan anggaran untuk program tersebut mencapai 147 persen dari yang semula hanya Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar,” katanya sebagaimana dilansir Keidenesia.tv.
Setelah pertemuan itu, Ferry Yonanda bertemu Kepala Dinas PUPR-PKPP Riau, M Arief Setiawan (MAS) untuk menyampaikan pemberian fee sebesar 2,5 persen dari nilai proyek.
Akan tetapi, M Arief Setiawan yang merupakan representasi dari Abdul Wahid meminta jatah tersebut dinaikkan menjadi 5 persen atau sebesar Rp7 miliar.
"MAS (M Arief Setiawan) yang merepresentasikan AW (Abdul Wahid) meminta fee sebesar 5 persen (Rp7 miliar). Agar disetujui, AW melalui MAS juga mengancam akan mencopot atau memutasi para pejabat Dinas PUPR-PKPP yang tidak mau menuruti perintah tersebut,” jelas Johanis.
“Di kalangan Dinas PUPR-PKPP Riau, istilah itu dikenal sebagai jatah preman,” lanjutnya.
Ferry Yonanda dan seluruh Kepala UPT Wilayah Dinas PUPR-PKPP kemudian kembali melakukan pertemuan dan menyepakati besaran fee untuk Gubernur Riau sebesar Rp7 miliar.
Menurut Johanis, hasil pertemuan itu selanjutnya dilaporkan kepada Kepala Dinas PUPR PKPP Riau dengan menggunakan bahasa kode "7 batang”.
Johanis sendiri menegaskan bahwa ini bukan kasus suap melainkan pemerasan. “Karena yang aktif adalah gubernur, meminta, berarti ini adalah pemerasan,” ungkapnya.
Dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Riau, Senin, 3 November lalu, KPK mengamankan sembilan orang. Satu orang kemudian menyerahkan diri ke gedung KPK setelah mengetahui adanya kegiatan OTT.