
UPdates—Di Gaza yang dilanda perang, beberapa pengungsi Palestina tidak menemukan tempat berlindung selain di pemakaman. Mereka hidup di antara orang-orang yang tewas di tenda-tenda darurat di antara batu nisan.
You may also like :
Tentara Wanita Israel Berterima Kasih ke Brigade Al-Qassam Hamas, Ini 3 Alasannya
Selama lima bulan, Maisa Brikah dan anak-anaknya telah tinggal di pemakaman yang terbakar matahari di kota Khan Younis di selatan. Sekitar 30 keluarga berlindung di tempat itu.
You might be interested :
Iran Lancarkan Serangan Paling Mematikan ke Israel, Banyak Korban dan Kerusakan Parah
Batu nisan mereka fungsikan sebagai meja dan kursi, sementara tenda-tenda berdiri di tengah deretan makam.
Siang hari, anak-anak bermain pasir, tetapi malam hari membawa ketakutan.
"Saat matahari terbenam, anak-anak ketakutan. Mereka takut pada anjing di malam hari — dan pada orang mati," tutur Brikah sebagaimana dilansir Keidenesia.tv dari The Business Standard, Senin, 3 November 2025.
Hampir seluruh penduduk Gaza yang berjumlah lebih dari 2 juta jiwa telah mengungsi selama perang dua tahun antara Hamas dan Israel.
Dengan gencatan senjata yang berlaku sejak 10 Oktober, beberapa telah kembali ke reruntuhan rumah mereka. Sementara yang lain tetap berdesakan di daerah-daerah di luar kendali Israel.
Di pemakaman ini, tanda-tanda kehidupan masih ada: sajadah berkibar di atas tali, asap mengepul dari api unggun kecil, dan seorang anak mendorong kendi air di atas kursi roda di antara makam-makam.
Brikah mengatakan rumahnya di Khan Younis hancur dan pasukan Israel kini menduduki lingkungan tersebut, membuat keluarganya tidak punya tempat tinggal lain.
"Tetangga" terdekatnya adalah Ahmad Abu Said, yang meninggal dunia pada tahun 1991 di usia 18 tahun, menurut nisannya yang bertuliskan ayat-ayat Alquran.
Keluarga-keluarga lain di sini mengungsi dari Gaza utara, jauh dari makam kerabat mereka sendiri.
"Saya sudah dewasa, tetapi saya masih takut dengan kuburan di malam hari. Saya bersembunyi di tenda saya," kata Mohammed Shmah, yang telah tinggal di pemakaman tersebut selama tiga bulan setelah rumahnya hancur.
Ia mengatakan hanya memiliki sisa uang 200 shekel (sekitar Rp1 juta) ketika seorang teman membantu memindahkan keluarganya ke pemakaman.
Istrinya, Hanan Shmah, mengatakan kekurangan uang membuat mereka tetap tinggal di sana. "Tentu saja, hidup di pemakaman penuh dengan ketakutan, kekhawatiran, dan malam-malam tanpa tidur," katanya sambil mencuci piring dengan air berharga di baskom kecil.
Bahkan di antara orang mati, tidak ada rasa aman. Perserikatan Bangsa-Bangsa dan pengamat lainnya telah melaporkan serangan Israel terhadap pemakaman selama perang.
Israel menuduh Hamas menggunakan beberapa lahan pemakaman sebagai tempat berlindung, mengklaim situs-situs tersebut kehilangan perlindungan ketika digunakan untuk tujuan militer.
Seiring meningkatnya pertempuran, banyak jenazah dimakamkan di halaman rumah sakit dan lapangan terbuka.
Pemakaman tradisional di dekat makam keluarga menjadi mustahil. Kini, dengan gencatan senjata, keluarga mencari orang-orang terkasih yang hilang di reruntuhan.
Para pejabat kesehatan Palestina mengatakan jumlah korban tewas di Gaza telah melampaui 68.800, angka yang terus meningkat seiring dengan semakin banyaknya jenazah yang ditemukan.
Di Khan Younis, kuburan-kuburan baru terus bermunculan di pemakaman tempat para pengungsi kini tinggal. Kuburan itu berupa gundukan pasir sederhana yang ditandai dengan batu.
"Setelah gencatan senjata, hidup saya di dalam pemakaman tetap sama. Saya tidak mendapatkan apa-apa," keluh Shmah.