
UPdates—Terjangan air dan material yang meluncur dari hulu Sumatera pekan lalu menunjukkan kembali bahwa bentang alam pulau tersebut memendam sejarah panjang kebencanaan.
You may also like :
Setelah 217 Tewas di Valencia, Banjir Bandang Kembali Terjang Spanyol
Arus deras yang menerjang pemukiman warga membawa kayu, lumpur, dan bongkahan tanah yang selama bertahun-tahun terakumulasi pada lereng-lereng curam Bukit Barisan.
You might be interested :
Banjir Besar Meksiko, 28 Tewas, 13 Hilang, 6 Ribu Rumah Rusak
Bencana ini tampak terjadi secara mendadak, namun akar penyebabnya tersusun dari lapisan geologi, dinamika iklim, dan perubahan ekologis yang berlangsung sejak lama.
Dosen dan peneliti Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Dr. Ir. Hatma Suryatmojo dalam diskusi Pojok Bulaksumur yang berlangsung Kamis, 4 Desember 2025 mengurai bahwa struktur geomorfologi Sumatera membuat wilayah ini memang rentan terhadap luapan besar saat hujan turun.
Lereng-lereng terjal dari Aceh hingga Lampung mengalirkan air langsung ke dataran rendah. Sementara kipas vulkanik menjadi area yang kini banyak ditempati masyarakat.
Jalur alami ini mempercepat aliran dan membawa material dalam jumlah besar ketika intensitas hujan meningkat.
“Dengan pola seperti itu, hujan deras pasti membawa material dalam jumlah besar dan kecepatan tinggi,” ujarnya sebagaimana dilansir Keidenesia.tv dari website UGM, Jumat, 5 Desember 2025.
Dijelaskan Hatma, banjir bandang yang membawa kayu-kayu dan sedimen itu tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekologis yang kian menurun.
Pembukaan lahan di daerah hulu, pemukiman yang merangkak naik ke dataran tinggi, serta perubahan fungsi hutan memperbesar limpasan permukaan.
Ketika hutan hilang, kemampuan tanah menahan air ikut runtuh dan debit puncak tak lagi dapat dikendalikan. “Para pihak yang menjadi kontributor dosa ekologis itu sudah saatnya berhenti,” katanya.
Ia menegaskan bahwa secara alami hutan memiliki kemampuan besar untuk menahan air hujan. Bahkan dalam kondisi ideal, hingga sepertiga air dapat tertahan di tajuk dan lebih dari separuh meresap ke dalam tanah sebelum mencapai permukaan.
Saat tutupan hutan berkurang, seluruh volume air bergerak serentak menuju sungai dan mempercepat terjadinya banjir. “Neraca airnya pasti berubah dan debit puncaknya meningkat drastis,” ujar Hatma.
Mantan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati menambahkan bahwa perubahan iklim memperbesar risiko yang sudah tinggi secara alami.
Kenaikan suhu global 1,55°C membuat kejadian hujan ekstrem semakin sering, dan prediksi menunjukkan peningkatan dapat mencapai 3,5°C pada akhir abad bila tidak ditekan.
Dengan curah hujan setinggi ratusan milimeter per hari, sistem hidrologi di Sumatera tidak mampu lagi meredam laju air. “Kalau mitigasi ekologinya dilewatkan, kita bisa musnah,” ujar Dwikorita mengingatkan.
Dwikorita juga menilai struktur geologi Sumatera membuat wilayah ini sangat labil. Batuan yang terbentuk dari tumbukan lempeng naik dari dasar laut dalam kondisi retak-retak sehingga mudah longsor saat diguncang gempa kecil.
Longsoran inilah yang kemudian menyumbat aliran sungai dan membentuk bendungan alami yang sewaktu-waktu dapat jebol. “Retakan-retakan itu membuat wilayah ini sangat rentan terhadap gerakan tanah,” katanya.
Selain itu, anomali siklon tropis yang makin sering muncul memperburuk keadaan. Siklon yang biasanya tidak menembus zona tropis kini tumbuh di wilayah Indonesia dan bergerak melintasi daratan, membawa hujan intens selama berhari-hari.
Fenomena ini tidak hanya memperbesar risiko banjir bandang, tetapi juga mempersingkat periode ulang bencana yang sebelumnya puluhan tahun.
“Siklonnya tidak lagi patuh pada jalurnya, dan ini anomali yang semakin sering muncul,” ujar Dwikorita.
Dwikorita menjelaskan bahwa anomali siklon yang terjadi tahun ini tidak muncul secara terpisah, melainkan merupakan rangkaian fenomena yang telah terlihat sejak kemunculan Siklon Seroja dan Cempaka beberapa tahun sebelumnya.
Pola siklon-siklon tersebut mulai menunjukkan perilaku tidak lazim, termasuk melintasi daratan dan bertahan lebih lama di wilayah tropis yang seharusnya menjadi zona penghalau.
Siklon Senyar mempertegas gejala itu dengan tumbuh di area yang biasanya tidak memungkinkan dan bergerak menyeberangi daratan hingga mencapai Semenanjung Malaya.
“Ini anomali yang mengindikasikan perubahan iklim semakin mempengaruhi dinamika siklon di kawasan Indonesia,” tutupnya.