UPdates—Raja Ampat dalam bahaya dan muncul kkehawatiran akan kehilangan wilayah indah berjuluk "surga terakhir di bumi" tersebut.
You may also like : Jemaah Haji Papua Barat Kloter 25 Embarkasi Makassar Dilepas, 1 Orang Batal Berangkat
Aktivitas pertambangan nikel di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya dianggap menjadi ancaman nyata terhadap salah satu ekosistem laut terkaya di dunia itu.
Makanya, seruan perlawanan untuk menjaga Raja Ampat muncul dan viral di media sosial. Di X, #SavePapua dan #SaveRajaAmpat menjadi salah satu trending topic. Berbagai video dan foto Raja Ampat, termasuk kerusakan yang sudah terlihat dibagikan secara massif oleh warganet.
Menurut Greenpeace Indonesia, jika tambang nikel di Raja Ampat tak dihentikan, Indonesia berpotensi kehilangan spesies endemik seperti biawak Waigeo, udang mantis merak, hiu karpet berbintik dan lainnya.
Selain itu, juga berpotensi kehilangan ikan pari manta (manta rays) yang dilindungi dari kepunahan serta berbagai spesies dari terumbu karang.
Greenpeace Indonesia juga menyebut adanya ancaman terhadap 2.500 spesies ikan, 47 spesies mamalia, dan 274 spesies burung. Lebih dari 8.775 hektare hutan juga terancam dibabat untuk pertambangan nikel.
Ratusan pulau kecil yang menjadi daya tarik utama Raja Ampat juga mungkin akan hilang dan akan berpengaruh pada kegiatan ekowisata berbasis ekonomi masyarakat lokal yang menjadi sumber kehidupan bagi warga.
Tak hanya di media sosial, penolakan terhadap aktivitas pertambangan nikel di wilayah Raja Ampat juga muncul di Senayan.
Anggota Komisi VII DPR RI Novita Hardini menegaskan praktik tambang di kawasan tersebut sebagai bentuk pengabaian terhadap regulasi dan ancaman nyata terhadap salah satu ekosistem laut terkaya di dunia.
“Raja Ampat bukan kawasan biasa. Ini adalah salah satu surga biodiversitas laut dunia yang sudah diakui UNESCO sebagai Global Geopark. Kawasan ini bukan tempat yang bisa dikompromikan untuk kegiatan pertambangan. Jangan rusak kawasan ini hanya demi mengejar hilirisasi nikel,” tegas Novita dalam keterangan persnya sebagaimana dilansir keidenesia.tv dari situs resmi DPR RI, Kamis, 5 Juni 2025.
Novita menyebut, Raja Ampat terdiri dari lebih dari 610 pulau, yang menjadi habitat bagi sekitar 75 persen spesies laut dunia, termasuk 540 jenis karang dan lebih dari 1.500 spesies ikan. Namun, sejumlah pulau kecil di kawasan tersebut kini telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel, bahkan sebagian telah aktif ditambang.
“Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan jelas menyebut bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil diprioritaskan untuk pariwisata, konservasi, budidaya laut, dan penelitian. Tidak ada satu pun pasal yang melegalkan eksplorasi tambang di kawasan tersebut,” tegas politisi Fraksi PDI Perjuangan itu.
Mengacu data Dinas Pariwisata Kabupaten Raja Ampat, Novita menyebut sektor pariwisata pada tahun 2024 menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp150 miliar per tahun, dengan kunjungan wisatawan mencapai 30.000 orang per tahun, di mana 70 persen di antaranya merupakan wisatawan mancanegara.
“Kalau kerusakan lingkungan akibat tambang terus berlanjut, pendapatan pariwisata bisa anjlok hingga 60 persen. Ini langsung mengancam mata pencaharian masyarakat adat yang menggantungkan hidup pada sektor pariwisata dan perikanan,” imbuhnya.
Novita juga menyinggung soal rencana evaluasi IUP tambang oleh pemerintah. Ia menilai negara kerap abai terhadap aspirasi rakyat.
“Soal Raja Ampat dan rencana evaluasi oleh Pak Bahlil, sekali lagi membuktikan jika negara banyak gagal paham soal keinginan rakyat. Ketika rakyat tidak mencari keadilan sendiri, negara tidak hadir. Negara abai jika tidak diprotes, dan menganggap diamnya rakyat sebagai tanda persetujuan,” katanya.
Wakil rakyat dari Dapil Jawa Timur VII itu mengungkapkan bahwa Komisi VII DPR RI saat ini tengah mendorong penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pariwisata yang akan menjadi payung hukum perlindungan destinasi wisata strategis nasional seperti Raja Ampat.
“RUU ini kami dorong agar kawasan ekowisata seperti Raja Ampat memiliki dasar hukum yang kuat, supaya tidak bisa disentuh oleh kegiatan eksploitasi yang merusak. Hilirisasi boleh, tapi jangan tempatkan di lokasi yang menjadi wajah Indonesia di mata dunia,” tegasnya.
Ia pun mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk segera menghentikan penerbitan izin tambang baru di Raja Ampat serta melakukan audit lingkungan menyeluruh terhadap IUP yang telah terbit.