UPdates—Ketua Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal mengeritik kondisi tenda jemaah haji Indonesia di Mina. Menurutnya, itu overkapasitas dan jauh dari layak.
You may also like : Anggota DPR Gerindra Ingatkan Pemerintahan Prabowo Angka Pengangguran Meningkat
Cucun yang memimpin inspeksi Timwas Haji DPR RI ke lokasi pemondokan jemaah, di Arafah, Makkah, Arab Saudi menegaskan, penumpukan jemaah dalam satu tenda dapat membahayakan kenyamanan dan kesehatan. Bahkan berisiko mengganggu kekhusyukan ibadah.
You might be interested : Levina, Jemaah Termuda Asal Jateng: Harusnya Mama yang di Sini
Menurutnya, dalam satu tenda, tercatat terdapat hingga 300 orang. Padahal, kapasitas idealnya hanya 200 orang.
“Bayangkan, satu tenda diisi 300 orang, padahal hanya layak untuk 200. Tidak ada jarak antara tempat tidur satu dengan lainnya. Ini tidak manusiawi,” tegas Politisi Fraksi PKB ini sebagaimana dilansir keidenesia.tv dari situs resmi DPR RI, Senin, 2 Juni 2025.
Ia menegaskan, jika tidak segera ditangani, kondisi serupa akan terus terulang di musim haji mendatang. Oleh karena itu, pihaknya akan melakukan evaluasi menyeluruh bersama Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) dan pihak-pihak terkait lainnya, termasuk meminta penyedia layanan untuk menyediakan tenda cadangan sebagai solusi darurat.
“(Senin 2 Juni 2025) akan kami evaluasi bersama Panitia Haji. Harus dicari jalan keluar, salah satunya penyediaan tenda cadangan agar jemaah tidak harus tidur di luar tenda atau berdesakan di dalam,” katanya.
Sementara itu, anggota Timwas Haji DPR RI Adies Kadir menilai jemaah haji reguler Indonesia seharusnya sudah bisa mendapatkan fasilitas yang setara dengan negara-negara Asia lainnya, bahkan mendekati standar layanan haji khusus (ONH Plus), jika manajemen anggaran dilakukan lebih efisien dan terukur.
Pernyataan itu disampaikan Adies Kadir dalam RDP dan RDPU dengan Mitra Kerja terkait Haji, di Alqimma Hall, Makkah Arab Saudi, Senin, 2 Juni 2025 hari ini.
Menurutnya, fakta yang disampaikan oleh pihak penyelenggara transportasi dan akomodasi Sarikah cukup mengejutkan, karena menempatkan jemaah haji reguler Indonesia dalam kategori fasilitas terendah.
“Ada satu hal memang yang cukup membuat kita miris. Ternyata fasilitas haji itu dibagi dalam grade A, B, C, dan D. Dan yang cukup membuat kami agak terpukul, disampaikan bahwa jemaah haji Indonesia adalah yang paling murah dan masuk dalam grade D,” ungkap politisi Fraksi Partai Golkar itu.
Wakil Ketua DPR RI itu menegaskan, dengan anggaran dan kemampuan pengelolaan keuangan haji yang dimiliki, seharusnya Indonesia bisa menempatkan jemaahnya pada layanan grade B atau bahkan lebih baik.
“Kita ini mampu ke grade B. Jemaah reguler itu bisa mendapatkan fasilitas seperti jemaah ONH Plus, seperti bed sofa. Mestinya bisa. Dan mungkin kalau pengelola haji nanti bisa hitung lebih baik, kemungkinan cost haji itu masih bisa diturunkan tapi fasilitas tetap ditingkatkan,” tegasnya.
Adies menekankan bahwa hal ini akan menjadi catatan penting bagi evaluasi ke depan, khususnya bagi Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dan Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU). Ia meminta agar peningkatan kualitas layanan menjadi fokus utama, bukan sekadar efisiensi anggaran semata.
“Tahun ini kita agak toleransi sedikit karena ini baru pertama kali. Tapi ke depan ini PR besar kita. Yang penting bukan cari kesalahan, tapi bagaimana jemaah reguler yang jumlahnya 221.639 orang ini bisa mendapatkan fasilitas yang nyaman selama ibadah haji, apalagi di puncak ibadah di Armuzna yang paling berat,” jelasnya.
Adies menyebut, saat memantau langsung kondisi di Arafah, Muzdalifah, dan Mina, ia merasakan langsung suhu ekstrem yang bisa berdampak pada kesehatan jemaah. Ia meminta agar semua perubahan teknis pelayanan yang telah disepakati tetap menjamin kenyamanan dan tidak menambah beban jemaah.
“Kami minta Dirjen Haji memastikan bahwa jemaah kita mendapatkan pelayanan yang membuat mereka nyaman, bisa ibadah dengan baik, dan tidak stres,” ujarnya.
Selain soal akomodasi dan suhu panas ekstrem, Adies juga menyoroti persoalan distribusi makanan dan layanan kesehatan. Ia mengungkap adanya laporan bahwa tenaga kesehatan Indonesia sempat mengalami kendala operasional akibat perizinan yang belum tuntas dari otoritas setempat.
“Ada laporan bahwa petugas medis kita seperti diuber-uber polisi lokal karena tidak punya izin. Yang ingin dirawat pun terpaksa sembunyi-sembunyi dari gang ke gang. Ini tentu harus jadi perhatian agar tidak terulang,” katanya.