UPdates—Kesunyian malam Ramadan, pada Selasa, 18 Maret 2025 dini hari berubah menjadi pembantaian. Warga Gaza yang sedang bersiap untuk makan sahur dibombardiri secara brutal. Tubuh anak-anak tak berdosa yang kelaparan tercabik-cabik.
You may also like : Trump Keliru, Elon Musk Akui Kondom Senilai Rp818 Miliar bukan untuk Gaza
Pemboman Israel yang tiba-tiba menargetkan berbagai rumah dan tenda di seluruh Jalur Gaza, menewaskan sedikitnya 413 warga Palestina.
You might be interested : Korban Tewas akibat Genosida di Gaza Tembus 45.028, Terluka 106.962 Orang
Di Rumah Sakit Baptis Al-Ahli di Kota Gaza, Dr Ahmed Al-Qirm berdiri di depan deretan jenazah yang dibungkus kain kafan putih. Jenazah-jenazah itu kurus kering, wajah mereka cekung, seolah-olah kelaparan telah memakan mereka sebelum mereka tercabik-cabik oleh pecahan peluru.
Dokter itu menunjuk ke mayat anak-anak berusia antara lima dan dua belas tahun dan berkata kepada The New Arab dengan suara pelan, "Mereka semua terbunuh oleh pemboman Israel... tetapi rasa lapar terlihat jelas di wajah mereka."
"Anak-anak ini sedang menunggu waktu sahur. Mereka pikir malam akan memberi mereka kesempatan untuk beristirahat... tetapi Israel membunuh mereka dengan kejam," tambahnya, suaranya bergetar sebagaimana dilansir keidenesia.tv, Selasa, 18 Maret 2025..
Jeritan memekakkan telinga menembus kekacauan di sudut lain ruang gawat darurat rumah sakit. Seorang ibu tiga anak, mengenakan gaun hitam yang robek, berlari dengan panik melewati deretan mayat, mencari anak-anaknya. Suaranya yang bergetar mengandung rasa sakit yang tak tertahankan, "Anak-anakku... di mana anak-anakku? Mereka lapar! Mereka bahkan tidak mendapatkan sahur!"
Dia ambruk di samping tiga mayat mungil yang terbungkus kain kafan putih. Sambil berlutut di lantai, ia menggenggam tangan anaknya yang masih hangat dan mulai menggoyangkan bahunya dengan lembut seolah mencoba membangunkannya dari tidur malamnya yang singkat dan berkata, "Sayangku... bangunlah. Aku berjanji akan memberimu sahur... Jangan mati sekarang... Jangan mati kelaparan!"
Seorang perawat muda mendekatinya, mencoba menenangkannya, tetapi ia menepis tangan sang perawat dan mulai menggoyangkan tubuh anaknya dengan lebih kuat, sambil berteriak, "Mereka sedang menunggu sahur! Mereka bahkan tidak mendapat sepotong roti pun!"
Ia menyentuh pipinya yang dingin saat ia membuka penutup wajah putrinya. Ia berkata, "Apakah kamu tidak lapar lagi, putriku? Kamu menangis sepanjang malam karena kelaparan... Maafkan aku, sayangku, aku bahkan tidak bisa memberimu sepotong roti pun."
Jauh di lingkungan Shujaiya, Abu Khaled Abed sedang menggali reruntuhan rumahnya yang hancur, mencari sisa-sisa keluarganya.
"Kami berada di rumah, mencoba menyiapkan sesuatu untuk sahur, bahkan roti, teh, dan air. Tiba-tiba, terdengar ledakan. Kaca pecah, dan langit-langit runtuh menimpa kepala kami. Saya mencari istri dan anak-anak saya di bawah reruntuhan. Saya menemukan mereka... tetapi mereka sudah tidak hidup lagi," ujarnya pilu kepada TNA,
"Kami semua lapar. Mengapa tentara membunuh kami? Apa salah kami? Apa salah anak-anak saya sehingga mereka harus mati bahkan tanpa makan? Di mana kemanusiaan? Di mana negara-negara Arab dan organisasi hak asasi manusia?" tambahnya.
Suaranya semakin keras, teriakannya menyayat hati. "Saya ingin anak-anak saya hidup kembali... Siapa yang akan menghidupkan mereka kembali? Bagaimana saya bisa melupakan suara anak saya yang meminta makanan? Bagaimana saya bisa hidup tanpa mereka?" katanya terisak.
Tentara Israel melancarkan lebih dari 75 serangan udara serentak di Jalur Gaza, menargetkan daerah permukiman di Kota Gaza, Khan Younis, Rafah, dan wilayah tengah. Selain membunuh 413 warga, serangan tersebut juga melukai lebih dari 562 lainnya, termasuk puluhan orang dalam kondisi kritis, menurut Kementerian Kesehatan Palestina.
“Kami terkejut larut malam melihat serangan dan penyerangan di Gaza seperti di hari-hari awal perang,” kata Momen Qoreiqeh, yang kehilangan 26 anggota keluarganya dalam serangan itu kepada Al Jazeera..